Dilema Pemain Esports Perempuan: Inklusivitas Simbolik dan Marginalisasi

Yazid, 18 Desember 2024

Dilema Pemain Esports Perempuan: Inklusivitas Simbolik dan MarginalisasiEsports
Banner Ads

GAMEFINITY, Jakarta — Nazmi, seorang perempuan asal Bogor, adalah salah satu dari sekian banyak pemain esports yang harus rela mengubur mimpinya jadi pemain esports profesional. Nazmi membagikan cerita tentang tantangan dan perjalanannya di industri esports.

Perjalanan Nazmi menggapai impiannya dimulai pada tahun 2017, ketika ia pertama kali mengenal Mobile Legends (ML). Saat itu, ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas dan mulai memahami keseruan permainan tersebut. Nazmi mengenang turnamen pertamanya “Waktu itu kelas berapa ya? kelas 2 apa kelas 3 gitu. Udah 2018 tuh udah mulai tuh class meeting, ada ML, itu mulai ikutan.” Dari sana Nazmi mengenal dunia kompetitif.

Namun, Nazmi sempat mengalami keraguan dengan mimpinya menjadi pemain esports profesional. Pada tahun 2018 hingga pertengahan 2019, belum banyak pemain esports perempuan atau tim perempuan di skena esports. Baru pada akhir tahun 2019 skena esports untuk perempuan mulai bermunculan.

Perjalanan esports di Indonesia memang sempat dibumbui dengan naiknya skena esports perempuan di Indonesia. Dimulai akhir tahun 2019 dari sebuah turnamen bernama Female Gaming League (FGL). Turnamen itu seperti menjadi turnamen pembuka untuk turnamen esports khusus perempuan lainnya. Dari sana banyak tim mulai tertarik untuk membentuk divisi perempuan. Tim besar esports seperti EVOS dan Belletron (BTR) dapat dikatakan sebagai pelopor, meskipun sebelumnya sudah ada tim amatir yang sudah membuat divisi perempuan. 

Sayangnya, pertengahan tahun 2023, menjadi pil pahit yang membuat banyak tim-tim memilih untuk membubarkan tim esports perempuan. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada kepastian turnamen untuk tim divisi perempuan. Hal itu didasari karena selama ini turnamen diadakan oleh third party.

Tim Gamefinity melakukan sebuah riset sederhana dengan mengumpulkan data dari Liquipedia.com, tentang tim yang mengikuti Women Star League (WSL). Sejak tahun 2021 hingga 2023, ada 19 tim yang pernah masuk ke dalam turnamen tersebut. Sayangnya di pertengahan tahun 2024, tim tersebut hanya tersisa 3 tim saja.

Nazmi meyakini mimpinya menjadi pemain esports profesional patut untuk dikejar ketika melihat banyak tim besar mulai membuka divisi esports perempuan. Dirinya mulai tertarik masuk tim pada tahun 2020. Tetapi, hal itu ternyata tidak cukup untuk dirinya bisa naik menjadi pemain profesional. 

Pada perempuan yang bermain game, stigma kerap melekat. Bahkan hal paling sulit menurut Nazmi jika sudah menyangkut orang tua. Meskipun menurut Nazmi, orang tuanya sendiri tidak pernah mengekang. Namun, berbeda dengan teman-teman satu timnya.

“Kayak scrims nggak boleh. Terus, kita biasa discord kalau main. Ada yang dia (tiba-tiba) diam aja, kenapa gitu? Nanti diambil (HP) mama aku gitu,” jelasnya saat menceritakan pengalamannya ketika di tim.

Scrims atau adu tanding adalah hal wajib bagi pemain esports, apalagi untuk mereka yang ingin naik level. Biasanya scrims ini menghabiskan waktu hingga 2 jam dan itu dapat berulang hingga 3 sampai 4 kali dalam 1 hari. Dari scrims yang dinilai bukan hanya strategi, tetapi juga komunikasi tim dalam bermain. Bagi tim esports yang terbentuk daring (pemainnya terpisah antar kota) biasa menggunakan aplikasi Discord untuk berkomunikasi langsung secara daring. 

Orang tuanya tidak begitu mengekang, karena dirinya memberikan penjelasan tentang esports. Ditambah pada SEA Games 2019, esports menjadi salah satu cabang yang dipertandingkan. Hal itu menjadikannya semakin mudah untuk meyakinkan orang tuanya. Hal lain untuk meyakinkan adalah uang yang didapat dari turnamen. Hadiah dari turnamen biasanya berupa uang tunai atau item in game.

Pada turnamen-turnamen kecil atau disebut turnamen warkop (warung kopi)—awalnya diadakan di warung-warung kopi. Hadiah uang tunai mulai dari 100 ribu rupiah, berbeda lagi dengan turnamen besar apalagi yang sudah menggunakan panggung dan event organizer. Biasanya untuk turnamen besar yang memiliki panggung, total hadiah sampai angka 25 juta rupiah. Data tertinggi total hadiah untuk turnamen perempuan esports khususnya ML adalah pada event tahunan Esports World Cup 2024, yaitu 8 miliar rupiah.

Motivasi masa depan dengan finansial yang baik menjadi salah satu landasannya. Sayangnya, untuk menjadi pemain esports profesional untuk perempuan dikatakan cukup sulit. Seringkali tim esports perempuan ini tidak diikutsertakan dalam turnamen-turnamen yang menggunakan uang pendaftaran, meskipun itu turnamen warkop. Menurut Nazmi, tim esports perempuan baru akan didaftarkan jika turnamen-turnamen tersebut gratis.

“Soalnya kan turnamennya juga lebih banyak ya kalah jauh, terus chance buat menang di turnamen itu lebih gede,” jelas Nazmi.

Sedikitnya turnamen untuk perempuan biasanya menunggu momen-momen tertentu seperti beberapa event besar negara, hari besar dan event ketika Pemilu. Jika bukan momen Pemilu, event besar negara ada juga kebutuhan industri yang memiliki irisan dengan esports membuka turnamen untuk perempuan. Tetapi turnamen seperti itu biasanya tidak bertahan lama. Setelah 1 kali turnamen selesai dan tidak ada lagi. Nazmi sendiri bahkan sudah tidak memikirkan tentang adanya turnamen esports untuk perempuan, karena sudah dinormalisasi begitu adanya.

Turnamen esports perempuan yang dibuat oleh sebuah instansi biasanya berhubungan dengan pemasaran dari instansi tersebut. Turnamen-turnamen seperti ini sering diadakan, tetapi belum tentu ada setiap season (biasanya 6 bulan sekali). Apalagi jika instansi yang membuat turnamen merasa sudah cukup atau merasa tidak terangkat citra produknya, biasanya memilih untuk tidak mengadakan kembali turnamen itu.

Perempuan memang tidak mendapatkan kesempatan yang sama banyaknya dalam dunia esports yang didominasi pemain lelaki di dalamnya. Nazmi mengatakan kesempatan yang diberikan tim pada pemain esports perempuan dan laki-laki berbeda, sehingga kemampuannya juga berbeda. Selain itu, perbedaan juga dirasakan ketika tim perempuan komunitas untuk mencari lawan latih tanding. “Biasanya tim besar (tim besar yang memiliki divisi perempuan). Scrims-nya tuh sama cowok. Itu juga pasti ada kriterianya. Mungkin kayak harus X berapa (tingkatan dalam ML). Bukan sama perempuan.”

Padahal bermain dengan perempuan ketika rank sama kompetitifnya seperti dalam turnamen. Dalam setiap permainan yang kerap dijadikan divisi esports, bukan cuma lelaki yang ingin menang dalam setiap pertandingan. Tetapi, pemain perempuan juga ingin menang dan terus sampai pada tingkatan yang lebih tinggi. Sayangnya, pemain perempuan selalu diasosiasikan sebagai pemain pelengkap. Jika ada yang tidak hadir saja, baru diajak bermain.

Pengalaman bermain seperti itu pernah dialami oleh Nazmi sendiri di tim kampusnya. Dirinya pernah bermain pada turnamen yang diadakan Gamefinity pada tahun 2022 dan menurutnya penampilan itu sudah cukup bagus. 

Tetapi ketika ada turnamen skala nasional, yaitu Liga Mahasiswa, dirinya digantikan oleh seorang pemain lelaki lainnya. Dirinya dijadikan manajer tim tersebut. Padahal menurut dia itu tidak fair, tetapi permasalahan ini urung disampaikan pada tim karena tidak berani. “Iya, kalo cowok kan kadang setongkrongan, kayak segala macam mereka lebih berteman lebih dekatlah jadi kayaknya gak bisa (gak bisa diubah).”

Perlakuan berbeda itu juga dirasakan oleh pemain esports perempuan dalam hal gaji. Biasanya, pemain perempuan yang baru memulai hanya mendapatkan gaji sekitar 500 ribu rupiah per bulan, dengan syarat harus tinggal di Gaming House (GH). 

Besaran gaji ini berbeda jauh dengan pemain lelaki yang baru bergabung. Biasanya mendapatkan gaji mulai dari 1 juta hingga 2 juta rupiah per bulan tergantung kemampuan dan pengalaman mereka. 

Kesenjangan ini menunjukkan bahwa pemain esports perempuan belum mendapatkan pengakuan yang setara atas kontribusinya, meskipun memiliki potensi yang sama. Ketimpangan ini juga dapat mempengaruhi motivasi perempuan untuk bertahan dalam industri esports, memperbesar jurang antara jumlah pemain perempuan dan laki-laki, serta menghambat langkah menuju ekosistem yang lebih inklusif.

Untuk mengakali permasalahan nominal gaji yang kecil ini pemain perempuan biasanya memiliki cara lain untuk mendapatkan uang. Beberapa di antaranya adalah membuka jasa joki (memainkan akun seseorang hingga tingkatan tertentu) dan jasa main bareng di sebuah aplikasi. Sayangnya, menurut Nazmi cara seperti itu kerap membuatnya tidak nyaman.

Berkurangnya turnamen khusus untuk perempuan membuat pemain perempuan kehilangan ruang kompetitif yang penting untuk mengasah kemampuan mereka. Turnamen seperti ini sebenarnya menjadi salah satu cara bagi mereka untuk meningkatkan pendapatan melalui prize pool hadiah yang tersedia. 

Situasi ini diperburuk dengan menurunnya jumlah turnamen khusus perempuan, seperti yang dialami langsung oleh Nazmi. Ia menyebutkan bahwa sebagian besar turnamen yang diadakan saat ini lebih sering ditujukan untuk pemain laki-laki, sementara pemain perempuan hanya diberi kesempatan pada turnamen gratis atau pada momen tertentu seperti hari besar nasional.

Infografis Prizepool Turnamen Esports antara lelaki dan perempuan (infografis/yazid)

Akibatnya, pemain perempuan semakin sulit untuk mendapatkan eksposur, pendapatan, dan peluang berkembang, sehingga mereka sering kali merasa terpinggirkan dalam ekosistem esports yang disebut-sebut sebagai inklusif. 

Nazmi akhirnya memilih untuk menyudahi mimpinya menjadi pemain esports profesional. Meskipun dirinya sangat ingin menjadi pemain esports profesional, ternyata ekosistem esports perempuan tidak mampu menunjangnya untuk naik lebih jauh. Apalagi untuk masuk tim besar juga membutuhkan koneksi. 

Menurutnya hal itu penting, karena untuk masuk bermain di tim besar seperti EVOS Lynx, BTR Era (kini jadi Vitality), Siren Moon (Berubah jadi GPX, lalu Falcons Vega) dan lainnya harus melewati open trials atau uji coba terbuka (tahapan awal). Tetapi, informasi tahapan awalnya jarang diketahui oleh para pemain perempuan. Berbeda dengan open trial untuk tim laki-laki yang memang dipublikasikan di sosial media, sedangkan untuk divisi perempuan sendiri jarang dipubilkasikan.

Pemain esports perempuan yang bermimpi main di panggung profesional sendiri sudah banyak yang menghilang menurut Nazmi. Dulu waktu awal berkembangnya tim-tim esports perempuan, Nazmi mengaku masih mengenal banyak di antara mereka. “Jadinya ini kalau misalkan masih gini terus kayaknya cuma hitungan 1-2 tahun, Tim komunitas perempuan, gak ada deh. Terus sekarang aja yang kayak player yang dari tahun 2020 udah nggak kelihatan.”

Nazmi dan banyak pemain esports perempuan akhirnya memilih untuk mengubur cita-citanya. Dirinya beralih dari pemain esports perempuan menjadi shoutcaster atau penyiar esports. Menurutnya menjadi shoutcaster lebih menjanjikan karena ada gajinya. Itu yang membuat dirinya akhirnya memilih untuk menekuni dunia shoutcaster. Sambil menutup obrolan Nazmi hanya berkata yang penting tetap di esports.

Baca juga: 

Marginalisasi itu Nyata

Dalam dunia esports yang berkembang dari subkultur dunia digital, inklusivitas dianggap sudah terwakilkan dengan hadirnya perwakilan perempuan dan disabilitas. Pola pikir didasarkan pada tidak adanya perbedaan perlakuan terhadap semua yang mengakses dan tidak ada batasan untuk siapa saja yang dapat mengaksesnya. Esports sebagai olahraga yang tidak menggunakan fisik sebagai alat utama dan berada di dunia digital dengan sendirinya dianggap sebagai wilayah yang sudah inklusivitas.

Debora Imanuella, Badan Tim Nasional Esports Indonesia, mengatakan bahwa tentang inklusivitas di esports Indonesia menjadi yang terdepan. Bukan soal perempuan dan laki-laki, karena permasalahan itu ada pada soal kemampuan. Selain itu, dirinya menggambarkan inklusivitas berkaca pada 2 tim perempuan yang bertanding di turnamen MDL.

“Masalahnya itu balik lagi ya ke kemampuan gitu, karena esports ini satu-satunya olahraga yang sebenarnya itu tidak ada batasan gender dan tidak ada batasan tentang disability.”

Turnamen esports khusus perempuan secara resmi dikatakan oleh Azwin Nugraha, Public Relation Manager Moonton dan MLBB Esports, tidak ingin membuatnya. 

“Kenapa kita nggak pengen bikin? Karena kita nggak mau kotak-kotakkan. Jadi, siapa pun sebenarnya bisa ikut MPL. Siapa pun juga bisa ikut MDL.” 

Sayangnya, dari cerita Nazmi perempuan sulit mendapatkan peran di ranah pemain esports profesional. Dalam sebuah jurnal berjudul Breaking the Glass Monitor: Examining the Underrepresentation of Women Esports Environments, dikatakan peluang untuk berkompetisi dalam esports sangat terbatas dan sering kali disertai hambatan tambahan bagi perempuan dan anak perempuan.

Marginalitas itu berbentuk perbedaan gaji yang didapat seperti yang Nazmi ceritakan. Ruangnya yang semakin berkurang ditambah tidak terjaminnya pemain esports perempuan dari mulai ranah amatir membuat mereka mengurungkan niat menjadi pemain esports profesional. 

Feedmagazine.tv dalam laporannya Where are the Woman Warriors? terkait dengan pemain esports perempuan memperlihatkan kesenjangan antara pemain esport laki-laki dan perempuan yang sudah berada di level profesional. Sasha Hostyn (Scarlett), pemain perempuan peringkat pertama dunia memiliki pendapatan sebesar $335.551 sepanjang karirnya. Sedangkan, Johan Sundstein (“N0tail”) pemain profesional yang berada di tingkat pertama untuk daftar laki-laki memiliki pendapatan hampir 7 juta USD.

Dampak marginalisasi pada pemain esports perempuan kian kentara dengan terlihat jelas mulai hilangnya tim-tim besar, karena turnamen-turnamen khusus perempuan tidak ada. Hilangnya tim-tim besar juga dipengaruhi karena berkurangnya pemain esports perempuan. 

Reno Head of EVOS Esports mengatakan, “Kalau kita nge-announce trial player, tapi yang daftar cuma 10 sampai 20 orang, pasti susah kita bikin tim-nya. Kayak sekarang kalau kita nge-announce player Mobile Legends yang cowok nih, trial player buat MPL, yang daftar itu bisa 2.000 sampai 3.000 orang.”

Marginalisasi membawa dampak yang begitu panjang bukan hanya untuk tim, tetapi juga untuk pemain esports perempuan. Tidak adanya turnamen khusus perempuan yang resmi ini membuat tim-tim besar tidak membuka open trials pemain, bahkan beberapa menutup divisi perempuan. Alasannya mulai dari tidak dapat bersaing, hingga tidak adanya kepastian untuk setiap tim esports perempuan bermain di kompetitif.

Mulai dari Blaming hingga Impersonasi

Kekerasan yang dialami oleh pemain esports perempuan bukan hanya terkait terbatasnya ruang untuk mereka berekspresi sebagai pemain, tetapi juga dari digital. Nazmi sendiri bercerita tentang blaming yang mempengaruhi performa tim. Meskipun itu tidak terjadi secara langsung, tetapi itu membawa pengaruh saat seorang pemain membaca komentar-komentar tersebut. “Pengaruh banget kak,” ujar Nazmi sembari menambahkan karena tidak adanya turnamen khusus mereka hanya ingin bermain bagus, agar tidak mengecewakan.

Nggak bakalan langsung ngaruh ke kita saat game gitu. Karena kita kan nonton Tapi pengaruhnya tuh di turnamen selanjutnya atau di match selanjutnya. Itu kadang yang sering banget kak dijadiin Tiktok, dijadiin JJ (Jedag-Jedug),” jelasnya lebih lanjut.

Menurut Listiyani Siegit, Psikolog tim Paper Rex (PRX), hujatan atau blaming dalam dunia game mempengaruhi seorang pemain. Hal itu karena beberapa komentar yang dibaca terkadang terinternalisasi oleh mereka, “Karena awalnya dia yang ngerasa jago, tapi ternyata kalah sekali. Terus sama netizen dijatuhkan lagi, gitu. Jadi makin turun-turun-turun,” jelas Listi.

Listi sendiri melihat budaya blaming menjadi sesuatu yang berbeda. Menurutnya jika pemain esports lelaki akan dikritik terkait dengan performa bermainnya, tentang strategi dan secara in game itu berjalan. Tapi perempuan mengalami kritikan bukan cuma kemampuannya saja, melainkan juga permasalahan gender mereka, seperti diminta untuk berhenti dan dianggap lebih cocok berdandan.

Selain permasalahan itu, pemain esports perempuan juga sering dijadikan obyek impersonasi. Foto-fotonya diambil dan digunakan untuk menirukan seolah-olah itu dirinya. Foto pribadi juga diambil untuk diedit menjadi video atau foto vulgar dan disebar di sosial media. Menurut Nazmi, dirinya pernah mengalami impersonasi, meskipun tidak sampai diedit dan diubah menjadi lebih vulgar. Tetapi ada orang yang mengambil foto-foto tersebut untuk dijadikan kembali akun palsu yang menggunakan fotonya.

Data Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). (Ilustrasi/Yazid)

Data dari South Asian Freedom of Expression Network (SAFENet), terkait dengan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) selama kwartal ke-3 (Q3) tahun 2024, yaitu dari Juli, Agustus dan September ada sekitar 599 aduan terkait dengan KBGO. Pada Q3 ini laporan banyak terjadi dan selalu meningkat setiap tahunnya pada kwartal yang sama. Pelapornya pun beragam gender dengan didominasi kasus perempuan yang mengalami KBGO sebesar 47,4%.

Pada laporan yang sama, salah satu korban KBGO mengungkapkan pengalamannya perihal akun impersonasi dari mahasiswa Universitas Jember. Pelaku membuat akun palsu untuk dapat menghubungi sejumlah perempuan untuk berkenalan dan mendapatkan konten seksual perempuan tersebut.

Baca juga: 

Inklusivitas Semu dalam Esports

Penggambaran esports yang dapat dijangkau dan diakses siapa pun membuatnya terlihat seperti ruang tanpa sekat. Baik organisasi esports dari pemerintahan, game developer, hingga pemangku kepentingan lainnya di bidang esports menyatakan bahwa esports bukan soal laki-laki atau perempuan. Semua orang dapat memasuki ranah yang sama tingginya, tergantung pada kemampuan mereka.

Alih-alih menggambarkan inklusivitas di ranah esports, hal ini justru menunjukkan adanya kesenjangan yang membuat seseorang tidak mampu bertanding di tingkat kompetitif. Kesenjangan ini sering kali tidak disadari dengan cepat, karena akses yang tampak terbuka luas dan dapat dijangkau siapa saja.

Dikutip dari United Nations, inklusi sosial adalah proses di mana upaya dilakukan untuk memastikan kesempatan yang sama—bahwa setiap orang, terlepas dari latar belakangnya, dapat mencapai potensi penuh mereka dalam hidup. Upaya tersebut mencakup kebijakan dan tindakan yang mempromosikan akses yang sama terhadap layanan publik serta memungkinkan partisipasi warga negara dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.

Infografis inklusivitas dan ironi esports ladies di Indonesia (Infografis/Syam Riadio)

Secara umum, inklusivitas memiliki elemen penting, seperti akses setara ke sumber daya dan kesempatan; partisipasi dalam pengambilan kebijakan; penghapusan hambatan sistemik; pembangunan sosial dan ekonomi yang inklusif; serta pemantauan dan evaluasi berbasis data. Tentu saja ini juga berlaku di dalam esports yang sejak kehadirannya dianggap sebagai ruang yang sudah inklusif.

Sayangnya, penggambaran Nazmi tentang kondisi pemain esports perempuan tidak menunjukkan secara gamblang bahwa esports di Indonesia telah inklusif. Jika merujuk pada makna inklusi dari United Nations dan elemen yang harus ada di dalamnya, kondisi esports di Indonesia hanya menggambarkan inklusivitas secara permukaan. Padahal tidak adanya turnamen khusus untuk perempuan menggambarkan bahwa esports hanya dimiliki oleh laki-laki dan penggambaran keterwakilan di dalamnya adalah keterwakilan simbolik. Akses dan kesempatan yang setara didapat, bukan hanya menjadi satu turnamen sebagai titik. Tetapi juga memberikan ruang yang sama dalam hal ini adalah turnamen esports khusus perempuan yang berbasis penjaminan dan keberlanjutan untuk menunjang kebutuhan ekonomi pemain esports perempuan.

Penggambaran untuk menjadi pemain esports profesional berdasarkan kemampuan menjadi sebuah medium yang memaknai adanya kesenjangan, tanpa dicarikan jalan keluarnya. Hal ini tentu saja merupakan diskursus baru untuk memperjuangkan turnamen esports khusus perempuan yang resmi dan berkelanjutan.

Meskipun menurut Mohammad Refie Fakhreno atau yang akrab dipanggil Reno, Head of Esports EVOS, yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah turnamen resmi yang dibuat oleh developer. Karena menurutnya, jika developer yang sudah membuat turnamen tersebut, maka para tim-tim esports juga akan membuka kembali divisi perempuan. Berbeda dengan Debora, yang menggambarkan turnamen esports khusus perempuan justru digambarkan sebagai stepping stone untuk ke langkah selanjutnya. Sehingga turnamen khusus tersebut perlu ada, tetapi hanya sebagai batu lompatan ke turnamen tertingginya.

Apa yang terjadi di esports saat ini menggambarkan ada budaya lama yang terbawa dalam budaya baru di dalam dunia digital, yaitu budaya patriarki. Budaya ini memberikan legitimasi pada marginalisasi dan subordinasi pada perempuan. Raewyn Connell, Sosiologi Australia, dalam publikasinya tentang masculinities tahun 1995 menyatakan bahwa maskulinitas hegemonik sebagai konfigurasi praktik gender yang mewakili jawaban yang diterima saat ini atas masalah legitimasi patriarki, yang menjamin (atau dianggap menjamin) posisi dominan laki-laki dan subordinasi perempuan.

Listiyani Siegit, Psikolog yang sudah 4 tahun berkecimpung di esports dan kini di tim PRX, inklusivitas di esports sendiri masih belum. “Jadi kalau sekarang Indonesia, inklusifnya mungkin buat yang disabilitas belum, buat cewek kurang lah. I mean, we can see they’re trying, but masih kurang, bisa lebih lagi,” jelas Listi.

Listi juga menanggapi fenomena yang terjadi di esports Indonesia yang kerap mengasosiasikan perempuan sebagai Brand Ambassador (BA) dan Talent. “Itu terkesan seperti komoditi tampang,” Menurutnya itu yang membuat pemain esports perempuan tidak dihargai kemampuannya. Tim-tim di luar negeri itu tidak ada istilah BA dan talent, sebagai pemain atau sebagai staf. Itu menjadikan perempuan menjadi lebih baik, karena memiliki peran.

Kebutuhan Regulasi dan Kompleksitas Industri Esports

Esports Indonesia memiliki beberapa regulasi yang dibuat sejak kehadirannya di Indonesia. Ada Undang-undang No. 11 tahun 2022 tentang keolahragaan, serta Peraturan Pengurus Besar Esports Indonesia No. 34/PB-ESI/B/VI/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Esports di Indonesia. Kedua regulasi ini menjadi dasar untuk setiap pemangku kepentingan yang ingin atau sedang menjalan esports di Indonesia. Produk hukum ini dibuat, ketika esports sudah berkembang cukup pesat. Pertumbuhan esports sendiri mengalami titik kemajuan setelah tahun 2019 dan banyak pihak mulai sadar akan potensi esports.

Dari satu regulasi khusus yang mengatur tentang esports tidak ada aturan yang memuat terkait pemain esports perempuan ataupun turnamen khusus untuk perempuan. Jika membaca semua isi dalam Peraturan PBESI, aturan dibuat untuk tata laksana secara standar tanpa memperhitungkan aksesibilitas pemain esports perempuan.

Debora Imanuella, yang sempat menjabat sebagai Kepala Bidang Hubungan Masyarakat PBESI (Kabid. Humas PBESI), mengatakan bahwa PBESI sangat mendukung turnamen khusus perempuan. Dirinya sempat bercerita bahwa tahun 2021, saat Covid-19 merebak dan turnamennya kesulitan mendapatkan tempat bertanding, PBESI memberikan tempat untuk bertanding. Sayangnya, ketika ditanya terkait dengan regulasi khusus untuk pemain esports perempuan, dirinya mengatakan belum ada.

Semakin hilangnya turnamen khusus itu menjadi awal dari hilangnya tim-tim esports besar. Hal ini juga akan berdampak pada perempuan yang bermain di esports. Dalam jangka panjang, ini sama artinya dengan kehilangan regenerasi untuk pemain esports perempuan. Padahal skena esports perempuan kita termasuk yang memiliki potensi besar, karena beberapa kali menyumbang medali dalam event olahraga internasional.

Tim-tim esports lebih memilih untuk melakukan nonaktif karena tidak adanya roadmap yang jelas dari penyelenggara. Selain itu, tim esports juga memikirkan kondisi finansial mereka. Hal itu yang akhirnya membuat tim esports divisi perempuan perlahan-lahan mulai menghilang. Gairah bertandingnya tidak lagi seperti dulu dan para pemain perempuan dilepas dan harus mencari tim baru. Beberapa dari pemain memilih jalan lain menjadi talent atau BA.

Tidak ada intervensi dari PBESI terkait dengan regulasi turnamen khusus perempuan dan pemain esports perempuan membuat perempuan kian terpinggirkan. Menurut Debora, pemain esports perempuan juga harus mau menuntut itu langsung ke PBESI. 

when there is a problem we have to solve it, karena kan kita kan memang regulator kita harus ada orangnya dong yang bisa kita bawa,” jelasnya.

Nazmi sendiri sebagai pemain esports perempuan merasa bahwa terkait tuntutan seharusnya tidak harus pemain yang menuntut. “Soalnya menurut aku kalau misalkan emang dia, PBESI-nya mau membantu kenapa nggak ngundang aja? Kenapa harus di demo dulu? Kan nggak mungkin.” Dirinya juga menyatakan harusnya perempuan juga diberikan ruang, adakan sebanyak-banyaknya turnamen.

Namun, regulasi hanya salah satu dari sekian faktor yang bisa mendorong turnamen khusus perempuan diadakan. Menurut Reno, PBESI sudah punya programnya sendiri dengan Liga Esports Nasionalnya. Sehingga menurutnya yang perlu didorong adalah game developer membuat turnamen resminya.

“Jadi itu bakal menguntungkan Skena perempuan-nya Mobile Legends Kalau memang didukung oleh developer. Artinya ada jalur yang jelas, ada roadmap yang harus ada campur tangan dari developer.”

Regulasi yang belum sensitif gender dan dunia esports yang terlihat seperti inklusif ini ternyata belum memberikan peran yang sama besarnya untuk berbagai pihak. Ditambah dengan kompleksitas industri esports yang tercampur dengan entertainment, membuat perempuan tidak mendapatkan peran inti di dalam dunia esports. Keberadaan BA dan Talent di dunia esports memang dibutuhkan, tetapi citranya di dalam esports bukanlah inti dari industri esports. Keberadaan mereka sebagai support system yang menunjang kebutuhan finansial tim dan menarik para pendukung tim tersebut.

Share Artikel:
Banner Ads

Post Terkait: